Beranda | Artikel
Waspada, Syirik Di Sekitar Kita!
Sabtu, 30 Juli 2022

KESYIRIKAN KAUMNYA NABI IBRAHIM ‘ALAIHIS SALLAM

Kaumnya nabi Ibrahim ‘alaihi sallam bernama Shabi’ah[1]. Yang mana mereka mempunyai dua macam kesyirikan, dan keduanya masuk dalam syirik rububiyah dan uluhiyah.

Adapun kesyirikan mereka dalam rububiyah ialah klaim mereka yang mengatakan kalau rajanya yang bernama Namrud bin Kuusy mempunyai hak rububiyah –dia adalah seorang yang lemah yang mengajak manusia untuk beribadah kepadanya-. Dan Allah ta’ala telah mengabadikan kisah perdebatan antara kekasih -Nya nabi Ibrahim bersama raja sombong yang lalim ini yang mengklaim dirinya punya kekuasaan dalam rububiyah. Allah Shubhanahu wa ta’alla menceritakan dalam firman -Nya:

 أَلَمۡ تَرَ إِلَى ٱلَّذِي حَآجَّ إِبۡرَٰهِ‍ۧمَ فِي رَبِّهِۦٓ أَنۡ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُ ٱلۡمُلۡكَ إِذۡ قَالَ إِبۡرَٰهِ‍ۧمُ رَبِّيَ ٱلَّذِي يُحۡيِۦ وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا۠ أُحۡيِۦ وَأُمِيتُۖ قَالَ إِبۡرَٰهِ‍ۧمُ فَإِنَّ ٱللَّهَ يَأۡتِي بِٱلشَّمۡسِ مِنَ ٱلۡمَشۡرِقِ فَأۡتِ بِهَا مِنَ ٱلۡمَغۡرِبِ فَبُهِتَ ٱلَّذِي كَفَرَۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ [ البقرة: 258 ]

Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan,” orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah Dia dari barat,” lalu terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim“.[al-Baqarah/2: 258].

Termasuk diantara jenis kesyirikan mereka dalam perkara rububiyah ialah keyakinan adanya pengaruh pada beberapa perkara secara samar yang tidak tampak dari mana sebabnya. Maka jenis kesyirikan ini untuk pertama kalinya muncul di kalangan al-Kaldaniyun, dimana mereka mempunyai keyakinan adanya pengaruh bintang-bintang pada makhluk yang berada dibawah, sebagaimana akan datang penjelasannya.

Adapun muara kesyirikan mereka bersumber pada peribadatan kepada bintang, matahari dan bulan[2], kesyirikan ini berasal di negeri Babilonia, yang kemudian mereka tambah bersama kesyirikan lain yaitu dengan menyembah berhala, dimana mereka beribadah kepada batu yang tuli serta patung yang bisu, adapun penduduk Huran pada zamannya nabi Ibrahim ‘alaihi sallam, mereka biasa beribadah kepada tujuh bintang, maka beliau mendakwahi penduduk Babilonia terlebih dahulu untuk beribadah kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla semata baru kemudian beliau mendakwahi penduduk Huran.

Imam Ibnu Katsir menjelaskan, “Selanjutnya nabi Ibrahim bersama keluarganya pindah dengan tujuan negeri Kan’an yaitu negeri baitul Maqdis, kemudian beliau tinggal di Huran. Adapun penduduknya mereka memiliki kebiasaan menyembah tujuh bintang, dan orang-orang yang memakmurkan kota Damaskus dahulu berada diatas agama semacam ini, mereka biasa menghadap ke kutub utara untuk melakukan ritual ibadah, yaitu menyembah tujuh bintang dengan berbagai macam jenis ritual ibadah baik yang berbentuk perbuatan maupun ucapan, oleh karena itu pada setiap pintu masuk menuju kota Damaskus tempo dulu akan di jumpai disitu kuil untuk acara penyembahan bintang-bintang tersebut, mereka biasa melakukan perayaan dan penyembelihan, oleh sebab itulah penduduk Huran menyembah bintang-bintang serta berhala.

Dan pada zaman tersebut tidak ada yang mukmin di muka bumi ini kecuali nabi Ibrahim al-Khalil, istrinya serta anak saudaranya Luth. Dan melalui nabi Ibrahim lah Allah ta’ala memusnahkan segala macam kejelekan tersebut, serta memberangus segala kesesatan”.[3] Dan kaumnya nabi Ibrahim ‘alaihi sallam –yakni penduduk Babilonia- biasa memproduksi patung yang terbuat dari kayu dan batu, mereka memahatnya menjadi bentuk patung tertentu, sebagaimana di rekam dengan jelas oleh Allah ta’ala didalam ayat -Nya tatkala mengkisahkan nabi -Nya Ibrahim, Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:

 قَالَ أَتَعۡبُدُونَ مَا تَنۡحِتُونَ ٩٥ وَٱللَّهُ خَلَقَكُمۡ وَمَا تَعۡمَلُونَ  [ الصافات: 95-96 ]

Ibrahim berkata: “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu ? Padahal Allah -lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu“. [ash-Shaaffat/37: 95-96]

Demikian pula dalam firman -Nya:

 إِذۡ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوۡمِهِۦ مَا هَٰذِهِ ٱلتَّمَاثِيلُ ٱلَّتِيٓ أَنتُمۡ لَهَا عَٰكِفُونَ [الأنبياء: 52 ]

(Ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya dan kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya?“. [al-Anbiyaa’/21: 52].

Dan juga di dalam firman yang lain Allah Shubhanahu wa ta’alla menyebutkan:

 وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَٰهِيمُ لِأَبِيهِ ءَازَرَ أَتَتَّخِذُ أَصۡنَامًا ءَالِهَةً إِنِّيٓ أَرَىٰكَ وَقَوۡمَكَ فِي ضَلَٰل مُّبِين  [ الأنعام: 74 ]

Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata“. [al-An’aam/6 : 74].

Selanjutnya dalam ayat yang lain Allah Shubhanahu wa ta’alla juga menjelaskan:

 وَٱذۡكُرۡ فِي ٱلۡكِتَٰبِ إِبۡرَٰهِيمَۚ إِنَّهُۥ كَانَ صِدِّيقا نَّبِيًّا ٤١ إِذۡ قَالَ لِأَبِيهِ يَٰٓأَبَتِ لِمَ تَعۡبُدُ مَا لَا يَسۡمَعُ وَلَا يُبۡصِرُ وَلَا يُغۡنِي عَنكَ شَيۡ‍ٔا  [ مريم: 41-42 ]

Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam al-kitab (al-Qur’an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun” [Maryam/19 : 41-42]

Artinya, bahwa pada zaman nabi Ibrahim manusia biasa menyembah bintang-bintang sebagaimana manusia pada zamannya nabi Nuh biasa menyembah patungnya orang-orang sholeh. Akan tetapi, pada zamanya nabi Ibrahim manusia lebih parah yang mana mereka menyembah patung dan juga bintang-bintang dilangit.

Di jelaskan oleh ar-Razi dalam tafsirnya, faktor yang menyebabkan manusia beribadah kepada benda-benda dilangit ini, beliau menjelaskan, “Manakala manusia melihat perubahan evolusi yang terjadi di alam semesta ini mempunyai keterkaitan dengan evolusi gugusan bintang di langit, kemudian mereka meneliti perjalanan bintang-bintang tersebut hingga munculnya keyakinan (astrologi) bahwa adanya ikatan yang kuat antara kebahagian didunia dengan peredaran bintang-bintang tersebut, sehingga tatkala keyakinan mereka sampai pada batasan semacam itu akhirnya mereka mengagungkannya.

Hingga ada diantara mereka yang menyatakan, ‘Sesungguhnya benda-benda dilangit suatu benda yang mengharuskan adanya bentuk dengan sendirinya, dialah yang menciptakan jagad raya ini’. diantara mereka ada juga yang punya keyakinan bahwa benda-benda langit tersebut merupakan makhluknya Tuhan terbesar, akan tetapi, benda-benda tadi yang menciptakan alam semesta ini.

Generasi pertamanya punya keyakinan kalau benda-benda langit tersebut merupakan wasilah yang menghubungkan antara manusia dan Allah ta’ala, sudah tentu mereka akan menyibukan diri untuk menyembah dan merendahkan diri kepadanya, kemudian tatkala mereka melihat bintang-bintang tadi tidak kelihatan pada waktu-waktu tertentu maka mereka membikin patung untuk bintang tersebut lalu mereka menyembahnya dengan tujuan peribadatan tersebut sebagai ganti dari peribadatan kepada benda-benda langit dan mendekatkan diri padanya tatkala tidak kelihatan. Selanjutnya tatkala berlalu generasi tersebut dan semakin lama kejadiannya, akhirnya mereka hanya menyembah patung-patungnya, dan murni hanya menyembah berhala-berhala tadi, maka pada dasarnya mereka adalah para penyembah bintang-bintang dilangit”.[4]

Dan Allah azza wa jalla telah menyebut kisah perdebatan yang terjadi antara nabi Ibrahim ‘alaihissalam bersama kaumnya para penyembah bintang dilangit. Dimana nabi Ibrahim ‘alaihi sallam menegaskan bagi mereka kalau benda-benda langit yang bisa disaksikan tersebut tidak pantas untuk menyandang hak ketuhanan dan jangan sampai menyembahnya bersama Allah azza wa jalla. Sebab, itu semua bagian dari makhluk yang di atur, kadang nampak terkadang juga hilang dan tenggelam dari alam semesta, sedangkan Allah ta’ala tidak pernah hilang dari segala sesuatu, dan tidak ada yang tersembunyi bagi -Nya walaupun sekecil atom, Allah ta’ala menegaskan hal tersebut didalam firman -Nya:

 وَمِنۡ ءَايَٰتِهِ ٱلَّيۡلُ وَٱلنَّهَارُ وَٱلشَّمۡسُ وَٱلۡقَمَرُۚ لَا تَسۡجُدُواْ لِلشَّمۡسِ وَلَا لِلۡقَمَرِ وَٱسۡجُدُواْۤ لِلَّهِۤ ٱلَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ  [ فصلت: 37 ]

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan -Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah yang menciptakannya, jika ialah yang kamu hendak sembah“. [Fushshilat/41: 37].

Adapun sikap nabi Ibrahim ‘alaihi sallam bersama kaumnya sangatlah beragam, terkadang beliau mengajak dialog ayahnya, terkadang beliau mengajak dialog dengan orang banyak, terkadang beliau mengajak debat rajanya, terkadang beliau melakukan perkara yang membangkitkan kemurkaan lawan debatnya, hingga pernah beliau menghancurkan patung-patung mereka supaya mereka mau berpikir sejenak tentang hakekat patung tersebut, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk memasukan beliau ke dalam kobaran api, tapi beliau bisa selamat setelah dilempar kedalamnya, lalu beliau hijrah meninggalkan mereka.

Setelah beliau mencurahkan segala kemampuannya untuk bisa memberi jalan hidayah kaumnya, dan berusaha untuk menyakinkan mereka dengan menggunakan segala sarana yang ada, tapi tidak terlihat banyak perubahan dan manfaat pada kaumnya, justru balasan yang beliau terima dari kaumnya begitu kasar, mereka melempar dirinya ke dalam kobaran api, yang kemudian Allah Shubhanahu wa ta’alla jadikan menjadi dingin serta menyelamatkan.

Beliau juga mengancam ayahnya dengan neraka jahanam kalau masih saja menyembah patung-patung tersebut, tapi, tidak ada yang mau beriman kepada beliau dari kaumnya kecuali istrinya Sarah dan Luth bin Haraan anak dari saudara laki-lakinya. Nabi Ibrahim pun berlepas diri dari perbuatan ayahnya, lalu beliau tidak lagi menempuh cara lemah lembut bersama keluarga dan kaumnya, beliau lalu pergi meninggalkan mereka menuju negeri kaldaniyin kemudian ke negeri Huran, selanjutnya nabi Ibrahim pergi menuju negeri Palestina bersama istrinya Sarah serta anak saudaranya Luth. Dan kejadian tersebut dijelaskan oleh Allah ta’ala didalam firman -Nya:

فَ‍َٔامَنَ لَهُۥ لُوطۘ وَقَالَ إِنِّي مُهَاجِرٌ إِلَىٰ رَبِّيٓۖ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ [العنكبوت: 26 ]

Maka Luth membenarkan (kenabian) nya. dan berkatalah Ibrahim: “Sesungguhnya aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku); Sesungguhnya Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana“. [al-Ankabuut/29: 26].

Nabi Ibrahim ‘alaihi sallam bersama nabi Luth ‘alaihi sallam lalu tinggal di negeri tersebut yaitu negeri Kan’an. Akan tetapi, beliau tidak lama tinggal disana karena setelah itu beliau pergi ke Mesir, yang saat itu bertepatan dengan kekuasaan raja yang lalim, disana beliau menunjukan seakan-akan yang bersamanya adalah saudaranya, karena raja tersebut ingin mengambil istrinya Sarah akan tetapi tidak sanggup –dengan pertolongan dan karunia Allah Shubhanahu wa ta’alla- bahkan istrinya mendapat hadiah seorang budak wanita yang bernama Hajar, yang beliau hadiahkan kepada suaminya Ibrahim, tatkala budak tersebut dinikahi oleh beliau maka lahirlah seorang bayi laki-laki yang di beri nama Isma’il ‘alihi sallam, selanjutnya nabi Ibrahim menempatkan anaknya di sisi rumah Allah Shubhanahu wa ta’alla, Ka’bah musyarafah, lalu beliau kembali pulang ke negerinya di Syam.[5]

[Disalin dari  الشرك في قوم إبراهيم Penulis  Syaikh Abu Bakar Muhammad Zakaria, Penerjemah : Abu Umamah Arif Hidayatullah. Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2014 – 1435]
______
Footnote
[1] ash-Shabi’u secara etimologi ialah yang meninggalkan agamanya lalu pindah ke agama lain. Dan sering diartikan secara bebas dengan para penyembah bintang dan benda-bendang langit yang besar. Lihat penjelasannya dalam kitab Lisanul Arab 7/267 oleh Ibnu Mandhur. Al-Milal wan Nihal 2/5-57 oleh asy-Syihristani. Dan dalam kitab I’tiqodaat Firaqil Muslimin wal Musyrikin hal: 9 oleh ar-Razi.
[2] Qawa’idu Jalilah fii Tawasul wal Wasilah hal: 22 dan kitab ar-Radd ‘alal Manthiqiyin hal: 285-286, keduanya oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
[3] Bidayah wa Nihayah 1/140. oleh Ibnu Katsir.
[4] Tafsir ar-Razi 2/122.
[5] Qashashul Anbiyaa’ hal: 81—92 oleh Abdul Wahab an-Najjar.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/59366-kesyirikan-kaumnya-nabi-ibrahim-alaihissallam.html